Jumat, 27 November 2009

sistem pendidikan di jepang

Sistem Pendidikan Jepang

A. Latar Belakang

Jepang mengalami kehancuran saat perang dunia ke-2, dimana kota Hirosima dan Nagasaki luluh lantak dihantam bom atom. Ada pertanyaan yang sangat menarik yang dilontarkan oleh Kaisar Jepang “Berapa banyak guru yang masih hidup?”. Pertanyaan ini mengandung makna yang sangat dalam. Negara kecil yang miskin sumber daya alam tahu persis bahwa guru memiliki peranan yang sangat penting untuk kemajuan bangsa. Hancurnya bangunan dapat segera diperbaiki, tetapi sektor pendidikan yang hancur dengan tidak tersedianya guru yang memadai akan menjadikan suatu negara terpuruk dalam jangka waktu yang lama. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Jepang segera bangkit dari kehancuran dengan menerapkan pola pendidikan yang sentralistik, homogen, mengutamakan moral dan bahasa Inggris sebagai pengantar yang efektif. Pendidikan di Jepang mengutamakan pengembangan kemampuan dasar pada generasi muda sehingga generasi muda Jepang menjadi Fleksibel dan dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di masyarakat.

B. Tujuan

Adapun masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana struktur dan jenis pendidikan di Jepang?

2. Bagaimana penyusunan kurikulum di jepang?

3. Bagaimana Ujian kenaikan kelas da sertifikas?

4. Problem Pendidikan SMA di Jepang?

C. Pembahasan

1. Struktur dan jenis pendidikan di Jepang.

Secara umum tidak ada perbedaan antara struktur pendidikan di Jepang dengan di Indonesia yang terdiri atas Taman kanak-kanak, Pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non formal.

a. Taman Kanak-Kanak

Sebagian besar anak-anak Jepang memasuki taman kanak-kanak. Usia masuk taman kanak-kanan di jepang adalah 3-5 tahun. Taman kanak-kanak di bawah naungan kementrian pendidikan Jepang (MEXT). Pendidikan taman kanak-kanan merupakan pendidikan pra sekolah. Di samping taman kanak-kanak terdapat juga pendidikan pra sekolah taman kanak-kanak terdapat nursery school. Usia anak pada nursery School juga antara 3-5 tahun. Kegiatan yang dilakukan Nursery School sama dengan taman kanak-kanak. Jika taman kanak-kanan dibawah naungan Kementrian Pendidikan Jepang (MEXT), Nursery School di bawah naungan Kementraian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.

b. Pendidikan Dasar.

Usia awal masuk sekolah dasar adalah 6 tahun, dengan lama pendidikan di sekolah dasar 6 tahun. Pendidikan Sekolah Dasar di Jepang 97% adalah sekolah negeri dimana siswa tidak dipungut biaya dengan fasilitas sekolah yang lengkap, dan buku-buku yang diberikan oleh negara. Wajib belajar di Jepang adalah 6 sampai dengan 15 tahun. Hal ini sama dengan di Indonesia yang terdiri dari SD dan SMP. Demikian juga di Jepang Wajib belajar sampai dengan SMP. Karena usia tersebut merupakan wajib belajar maka jika pada usia tersebut ada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya akan mendapat sanksi hukum dan bisa dipenjarakan. Pendidikan di Jepang rata-rata ”bersifat kaku” dan sentralistrik. Dimana bahwa ide mengenai kebinekaan merupakan hal yang ”kurang wajar” dan jarang terjadi di Jepang. Semua guru berpegang teguh pada kurikulum yang telah ditetapkan secara terpusat. Saat ini sistem pendidikan di Jepang sudah mengalami perbaikan sejak tahun 1998, dimana telah diterapkan gagasan-gagasan baru mengenai pelaksanaan pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Pada kenyataannya di lapangan sikap guru tidak mengalami perubahan.

c. Pendidikan Menengah.

Pendidikan menengah di Jepang terdiri dari dua level yaitu SMP dan SMA. SMP merupakan wajib belajar. Seperti halnya di SD, SMP-SMP jepang 97% merupakan sekolah negeri dan hanya 3% saja yang dikelola oleh swasta. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta biasanya memiliki ciri khas seperti keagamaan. Pada level ini siswa diberikan pembelajaran vokasional dan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Jepang. Mata pelajaran terdiri atas mata pelajaran wajib, mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran pilihan bersifat ”efektif” dan yang paling banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Tamatan SMP dapat melanjutkan ke SMA dengan mengikuti seleksi yang diadakan oleh sekolah masing-masing. Masyarakat menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi keluarga dan negara. Hampir seluruh siswa SMP dan SMA Jepang memasuki Juku (tempat-tempat kursus) dengan biaya yang mahal. Hal ini menjadikan tingkat kompetitif untuk menuju ke SMA dan PT sangat tinggi. Masa menjelang ujian ini merupakan masa yang paling menyulitkan para orang tua dan siswa.

d. Pendidikan Tinggi

Di Jepang secara umum ada 2 jenis perguruan tinggi yaitu Daigaku (Universitas) dan Tanki-daigaku (junior college). Lamanya pendidikan Daigaku adalah 4 tahun kecuali pada program-program kedokteran. Sedangkan pada tanki daigaku selama 2 sampai 3 tahun.

Untuk masuk ke Perguruan Tinggi di jepang harus mengikuti proses seleksi yang sangat ketat dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Awalnya mereka mengikuti Achievement tes (tes tertulis) yang diadakan serentak sama seperti SPMB di Indonesia. Setelah itu calon mahasiswa harus mengikuti interviuw, tes essay dan ujian-ujian lain yang diselenggarakan oleh Pergururuan Tinggi.

e. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal di Jepang dikenal sebagai pendidikan sosial. Banyak tersedia untuk pendidikan non formal seperti pendidikan untuk remaja, usia lanjut, atau hobi seperti surat menyurat. Kegiatan pendidikan non formal di Jepang rata-rata dilaksanaan oleh lembaga non pemerintah seperti persuratkabaran, lembaga penyiaran, toko-toko, perusahaan dan lain-lain.

2. Penyusunan Kurikulum di Jepang.

Seperti halnya di Indonesia, di Jepang pun kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari kalangan industri, dan wakil MEXT. Komisi ini bertugas mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental Education Law (Kyouiku kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Namun, karena unsur politik sangat kental mewarnai wakil-wakil yang duduk dalam komisi ini maka tak jarang terjadi perdebatan panjang terutama antara wakil teacher union dan wakil kementerian dalam penyusunan draft kurikulum. Pembaharuan kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang diterapkan pada Perang Dunia II. Kurikulum 1998 membawa angin baru dalam dunia pendidikan Jepang. Kurikulum ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya berdasarkan konsep yang dibawanya yaitu pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personality siswa, bukan seperti sebelumnya yaitu common education, atau pendidikan yang sama untuk semua siswa.Guru-guru di Jepang sejak perang percaya bahwa pendidikan harus bersifat massal dan sama, bahkan pendidikan yang menjurus kepada kekhasan tertentu atau menerapkan pola/metode yang lain daripada yang lain dianggap salah. Guru-guru Jepang senantiasa menjaga image bahwa semua siswa harus memiliki prestasi yang sama, kedisiplinan yang sama dengan sistem pendidikan yang serupa. Namun adanya kurikulum baru menyadarkan mereka bahwa setiap anak punya potensi yang berbeda dengan lainnya, dan inilah yang harus dibina.Kurikulum yang baru bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar. Sebagai contoh, di SMP, selain mata pelajaran wajib, siswa juga ditawarkan dengan mapel pilihan.

Dengan adanya kurikulum baru ini, training besar-besaran dilakukan untuk mengubah pola pikir guru-guru Jepang. MEXT juga merevisi beberapa buku pelajaran, dan secara hampir bersamaan mengusulkan pemberlakuan 5 hari sekolah dan adanya jam khusus untuk pengembangan jiwa sosial siswa melalui integrated course atau sougoteki jikan.

Kurikulum di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di Tingkat Prefectur dan municipal (distrik). Karena kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang.

Beberapa hal berikut harus diperhatikan ketika sekolah menyusun kurikulumnya :1. Mengacu kepada standar kurikulum nasional, 2. Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa, 3. Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar, 4. Memperhatikan step perkembangan siswa, 5. Memperhatikan karakteristik course pendidikan/jurusan pada level SMA
Secara garis besar penyusunan kurikulum sekolah adalah sebagai berikut :1. Menetapkan tujuan sekolah 2. Mempelajari standar kurikulum, dan korelasinya dengan tujuan sekolah 3. menyusun course wajib dan pilihan untuk SMP dan SMA4. Mengalokasikan hari efektif sekolah dan jam belajar.

3. Ujian Kenaikan Kelas dan Sertifikasi

a. Ujian Kenaikan Kelas

Tahun ajaran baru di sekolah-sekolah Jepang dimulai pada bulan April dan diakhiri pada bulan Maret tahun depannya. Sistem ini berlaku sama dari mulai TK hingga Perguruan Tinggi. Berbeda dengan Indonesia yang mengenal sistem dua semester, sekolah-sekolah di Jepang masih menggunakan sistem CAWU atau three terms, yaitu CAWU I dari April - Juli, CAWU II September- Desember, dan CAWU III dari bulan Januari hingga Maret. Liburan terpanjang ada pada bulan Agustus-September, yaitu selama 40 hari (liburan musim panas). Pada bulan September 1992, mulai diterapkan sistem 5 hari sekolah (Senin-Jumat), yang awalnya hanya diterapkan sekali sebulan, yaitu pada pekan pertama saja. Kemudian sejak April 1995, diterapkan dua kali sebulan, yaitu pada pekan ke-2 dan pekan terakhir. Dengan sistem ini hari efektif sekolah selama setahun sebanyak 220 hari. Angka ini tergolong tinggi dibandingkan dengan negara anggota OECD lainnya. Usia 6 tahun adalah usia masuk SD. Karena termasuk dalam pendidikan wajib, maka pemerintah setempat akan menghukum orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya pada usia pendidikan wajib, yaitu tingkat SD dan SMP. Jepang tidak mengenal sistem mengulang kelas. Semua anak yang sudah menyelesaikan level atau kelas tertentu, secara otomatis naik ke kelas berikutnya. Sehingga setiap kelas akan berisi anak-anak dengan umur yang sama. Sistem akselerasi atau kelas percepatan untuk anak pandai juga tidak ada di Jepang, tetapi pada tahun 1990, MEXT pernah mengeluarkan kebijakan untuk mengijinkan anak di bawah 18 tahun melanjutkan ke PT. Kesempatan ini terutama diberikan kepada anak jenius di bidang matematika dan sains. Namun kebijakan ini kelihatannya tidak berlanjut, karena asas homogenitas kelihatannya tetap kuat dipertahankan oleh para pendidik.

b. Sertifikasi Guru

Guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah di Jepang dididik dan dilatih di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, yaitu univeristas (daigaku) dan program pascasarjana serta junior college (junior daigaku) yang dipilih oleh kementerian Pendidikan. Sertifikat mengajar sebagaimana di atur oleh undang-undang dijamin selama-lamanya oleh Dewan Pendidikan distrik dan berlaku disemua distrik.

Sertifikat mengajar untuk sekolah dasar hanya membolehkan mengajar guru mengajar pada sekolah dasar dengan mengajar seluruh mata pelajaran. Demikian juga guru yang yang memperroleh sertifikat mengajar untuk sekolah menengah hanya boleh mengajar di sekolah menengah dan membolehkan mereka mengajar hanya pada satu mata pelajaran saja.

Untuk menjadi pengajar sekolah dasar atau sekolah menengah negeri seorang calon harus mengikuti sistem rekrutmen. Pengangkatan dilakukan dengan dewan pendidikan distrik atas dasar rekomendasi superinden distrik dengan dari hasil ujian rekrutmen. Setelah itu diangkat menjadi pegawai dewan distrik daerah.

Posisi untuk mendapatkan tugas tambahan seperti kepala sekolah dan wakil kepala sekolah harus mengikuti serangkaian ujian dan menyelesaikan ”inservece training” khusus. Untuk mendapatkan guru yang berkualitas guru-guru di Jepang memperoleh gaji yang memadai. Sehingga guru-guru di Jepang sangat dihormat dan mendapat tempat serta sistem penggajain yang baik. Guru-guru di Jepang mendapatkan gaji 1,77 kali gaji pegawai perusahaan dan merupakan gaji tertinggi di negara asia. Gaji ini 95% dari gaji di Amerika Serikat.

Guru-guru di Jepang memiliki tingkat profesional yang lebih baik di bandingkan dengan Amerika Serikat. Guru-guru di Jepang dapat diberikan sanksi oleh sesama rekan profesi jika tidak menjalankan profesinya dengan baik. Keunggulan lain dari guru di Jepang tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan lain “part time jobs” karena mereka mendapatkan penghasilan yang layak, jauh lebih tinggi dari pegawai di instansi nasional manapun. Hal ini yang membedakan dengan guru-guru di negara lain termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia.

4. Problem Pendidikan di Jepang

a. Problem Pendidikan SMA di Jepang

Di Jepang diberitakan kasus banyaknya guru SMA yang tidak mengajarkan secara lengkap mata pelajaran ke siswanya yang mempengaruhi kelulusan mereka. Tiga mata pelajaran yang disorot : sejarah dunia (”sekai-shi”), sejarah nasional (”nihon-shi”) dan geografi (”chiri”). Tercatat lebih dari 60 SMA di 11 propinsi di Jepang yang tidak mengajarkan sejarah dunia (”sekai-shi”), padahal ini mata pelajaran wajib. Menurut aturan Monbukagakusho, sekai-shi adalah mata pelajaran wajib SMA yang harus diikuti siswa. Sedangkan geografi (”chiri”) dan : sejarah nasional Jepang (”nihon-shi”) adalah mata pelajaran pilihan, yang siswa harus mengikuti satu diantara keduanya.

Alasan pihak sekolah adalah menyajikan ramuan mata pelajaran yang sesuai dengan yang diujikan saat masuk ke perguruan tinggi. Bahkan di salah satu SMA, sejak 3 tahun lalu tidak mengajarkan secara lengkap ketiga mata pelajaran itu, karena adanya permintaan dari siswa agar pelajaran dikonsentrasikan pada materi yang diujikan di ujian masuk perguruan tinggi. Senta-shiken (National Center Test for University Admissions) memang hanya mensyaratkan satu pilihan saja diantara sejarah nasional, sejarah dunia dan geografi. Disamping itu, hanya 2 university yang mengujikan mata pelajaran sekai-shi di ujian masuk, yaitu Todai dan Kyodai. Padahal bagi pihak SMA, masuknya siswanya ke sekolah yang bagus merupakan faktor penting untuk mengangkat gengsi SMA tersebut. Semakin banyak siswa yang masuk ke perguruan tinggi terkenal, tanda bahwa mutu pendidikan di SMA itu sangat bagus. Hal ini yang menyebabkan beberapa SMA di Jepang tidak mengajarkan mata pelajaran yang diwajibkan oleh Monbukagakusho itu, dan berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diujikan saja.

b. Siswa Jepang terbebani tugas yang berat

Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal. Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang “kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik”. Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa “menikmati” enaknya sekolah. Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik. Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul “A Place called school” ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.

D. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan dalam makalah ini dapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Struktur pendidikan di Jepang sama dengan sistem pendidikan di Indonesia yaitu prasekokah, sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi.

2. Kurikulum disusun dan diperbaiki 10 tahun sekali oleh sebuah komite khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari kalangan industri, dan wakil MEXT

3. Sertifikat mengajar sebagaimana di atur oleh undang-undang dijamin selama-lamanya oleh Dewan Pendidikan distrik dan berlaku disemua distrik.

4. Siswa di tingkat pendidikan dasar di Jepang naik kelas secara otomatis, dan jika ada anak usia sekolah tidak bersekolah maka orang tuanya mendapatkan sanksi hokum

5. Problem pendidikan di jepang adalah homogenitas, beberapa pelajaran sejarah yang tidak diajarkan di sekolah menengah atas dan siswa dan terbebani dan tertekan.